Bab 2091
Bab 2091
Bab 2091 Kartu AS
“Iya, Kakek.” Suara Pangeran Willy tampak lemah sekali.
“Kamu kenapa? Sakit? Suaramu anch sekali.” tanya Yang Mulia Raja dengan perhatian.
Pangeran Willy tak mengatakan apa–apa, melainkan sengaja memainkan emosinya.
Robin memandangnya dari samping. Sepasang tangan Willy mencengkeram erat, urat hijaunya menonjol keluar. Kedua matanya memerah dan tampak gugup….
Beberapa saat kemudian, Pangeran Willy menggertakkan gigi dan menahan air mata. Ja bicara dengan suara serak, “Aku cacat dan tak masalah kalau harus mati. Tapi aku mohon pada Kakek, harus melindungi 83 nyawa orangku!!!”
Ketika mendengar ucapan ini, air mata Robin langsung menetes keluar…. Property © of NôvelDrama.Org.
Entah Pangeran Willy sedang berakting atau sungguhan, tetapi ucapan ini memang benar adanya. Ucapan sederhana ini mencakup rasa kesengsaraan dan penderitaannya selama dua puluh tahun!!!
Siapa pun yang mengetahui cerita di dalamnya, tak akan tinggal diam.
Setengah jam kemudian, Robin membawa dua orang pengawal keluar dari pintu belakang kastel secara diam–diam. Pak Franky sudah membawa orang–orang Yang Mulia Raja dan menunggu mereka.
Di luar, ada orang yang mengawasi segalanya. Ketika mereka ingin bertindak, ada yang menghentikan, “Kamu buta, ya. Itu adalah orang–orang Yang Mulia!”
Dari dalam kastel, Pangeran Willy memandang mobil yang jauh. Ujung bibirnya terangkat menunjukkan senyuman kemenangan
la tahu, langkah pertama dari rencananya telah berhasil!
Dengan adanya Dewi, kartu AS–nya. Ia pasti menang!!
Dewi kembali ke kamar dan lekas mengeluarkan ponsel, memeriksa apakah Lorenzo ada meneleponnya….
Tentu saja tidak ada.
Hanya ada satu telepon tak terjawab ketika ia di pesawat tadi.
Ketika ia sedang bimbang apakah harus meneleponnya balik.
Tiba–tiba seorang pelayan wanita masuk dan menuangkan susu ke dalam bak mandinya ….
Pelayan itu juga membawakan makan malam yang baru dibuat. Semuanya makanan kesukaan Dewi, ia juga tahu, semua makanan ini dibuat sendiri oleh Pangeran Willy.
Di saat ini, ponselnya bergetar lagi. Dewi lekas berlari menjawab teleponnya. Ternyata Brandon yang meneleponnya, ia agak kecewa…
“Astaga, aku mengirimimu banyak pesan, kamu tak balas. Kamu baik–baik saja, ‘kan?”
“Aku sibuk, baru saja istirahat.”
“Baguslah kalau begitu.” Brandon akhirnya menghela napas, “Pangeran Willy itu sungguh sakit?”
“Omong kosong.” Dewi menjawab dengan kesal.
“Benaran sakit?” Brandon sangat terkejut, “Baiklah, anggap saja aku bicara omong kosong, tapi aku sarankan kamu lebih baik jelaskan baik–baik pada tunanganmu itu, agar tak ada salah paham.”
“Matahari sudah terbit dari barat?” Dewi sangat terkejut, “Kamu membela Lorenzo?”
“Walaupun aku tak menyukainya, tapi bagaimanapun juga, setiap kali terjadi sesuatu denganmu, selalu ia yang menyelamatkanmu. Ia juga yang mengatasi Denny dan anak buahnya.”
Brandon mengubah sikap kekanak–kanakannya dan bicara dengan serius, “Tindakan ini sudah cukup dapat menilai, apakah seorang pria sungguh tulus padamu atau tidak.
Sebaliknya, Pangeran Willy itu, setiap kali hanya bisa menjerumuskanmu dalam masalah. Apa kamu lupa saat kamu mengalami ledakan di atas kapal pesiar dan hampir mati? Lalu, ada potongan besi dalam otakmu….”
“Itu bukan salah dia.” Dewi malas mendengar omelan Brandon, “Sudahlah, kalau tidak ada apa, aku tutup teleponnya.”
“Duh, sudah kuduga kamu tak akan mendengarnya….”
Brandon menutup telepon dengan tak berdaya.
Dewi meminta para pelayan keluar, lalu lekas menelepon Lorenzo.
apa-
Telepon berdering begitu lama dan tak dijawab. Ketika Dewi sedang kebingungan, telepon itu langsung dimatikan.
la tertegun, membelalakkan matanya. Apa–apaan ini?
Lorenzo si pria berengsek itu mematikan teleponnya?
Dewi lekas menelepon kembali. Dengan cepat, panggilan itu dimatikan kembali.
Dewi kesal hingga ke lubuk jantungnya. Pria bajingan sialan, berani–beraninya mematikan teleponnya dua kali berturut–turut…..
Ya sudah, abaikan saja dia.
Dewi langsung menyalakan mode hening ponselnya dan membuangnya ke samping. Lalu, ia pergi mandi susu….
Ketika teringat temperamen jelek Lorenzo itu. Amarah Dewi berapi–api, ia mengangkat tangan menyentuh wajahnya. Tubuhnya penuh dengan aroma susu, di saat bersamaan, ia melihat keran air secara spontan…..
Tiba–tiba, ia memikirkan satu masalah….