Bab 729
Bab 729
Selena, kamu pantas mati.
Perkataan ini ternglang dalam benak Selena. Dia kembali teringat akan dirinya yang dulu sangat rendah
di hadapan Harvey yang angkuh seperti seorang raja.
Tidak ada sedikit pun jejak kepercayaan di wajah pria itu.
Dia selalu melihat Selena seperti seonggok sampah.
Sebenarnya kesalahan apa yang sudah dilakukan Selena sampai pria itu begitu membencinya?
Setiap kali Selena memikirkan hal–hal ini, kepalanya langsung terasa sangat sakit dan membuatnya
sangat menderita.
“Seli kamu kenapa? Apa perutmu sakit lagi?”
Harvey buru–buru meraih tangan Selena dan bertanya dengan khawatir.
Selena bersusah payah mengangkat kepalanya untuk menatap Harvey. Selena menepis tangan Harvey dengan tangannya yang lain dan menatap pria itu dengan dingin. “Harvey, kamu ini memang pantas
mati.”
Harvey mematung. Detik berikutnya Selena berkata, “Bukannya kamu mau aku mati? Baguslah, dengan
nggak berobat aku jadi bisa mengabulkan permintaanmu.” Content (C) Nôv/elDra/ma.Org.
Jelas Selena ingat sesuatu. Harvey jadi merasa takut dan gelisah, ini adalah akhir cerita yang paling dia
takuti.
“Seli, dulu memang ada salah paham di antara kita, tapi itu semua sudah berlalu jadi kamu nggak perlu terlalu memikirkannya. Sekarang, yang aku mau cuma kamu bisa kembali hidup sehat.”
“Kalau aku nggak mau di kemoterapi?”
“Seli, aku nggak akan memintamu kemoterapi kalau ada cara lain. Tolong beri aku sedikit waktu ya? Aku
pasti akan menemukan cara untuk menyelamatkanmu.”
Tidak peduli apapun yang Harvey katakan, Selena tidak mendengarkannya dan menjawab, “Nggak usah.”
“Seli, tolong jangan siksa aku seperti ini.” Harvey meraih tangan Seli dan mengelus wajahnya dengan lembut. Ujung mata Harvey sudah mulai memerah dan dia terlihat sangat frustasi.
“Harvey, aku memang nggak bisa memilih dalam hidup ini, tapi aku punya hak di kehidupan selanjutnya. Tolong blarkan aku pergi, aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku dengan terhormat,”
Harvey juga tidak mengalah. “Sell, maaf. Keinginan terbesarku adalah supaya kamu tetap hidup.”
Harvey pun memerintahkan Lewis dengan tegas, “Ayo mulal.”
Jarum infus masih menancap di punggung tangan Selena. Lewis menggantungkan botol obat dan mengalirkannya lewat selang infus. Selena pun mulal meronta.
Masalahnya, dia yang saat ini sangat lemah tentu tidak punya kekuatan untuk menghadang Harvey yang langsung mencengkram tubuhnya.
Selena seperti kelinci yang terperangkap di mulut singa. Dia menatap Harvey dengan tajam. “Begitu kamu lengah, aku akan mencabut infusnya.”
Lewis pun menasihati, “Selena, obat kemoterapi itu bersifat korosif. Kalau sampai merembes ke organ
lain bisa fatal akibatnya. Tolong, menurutlah.”
“Harvey, lepaskan! Aku nggak mau dikemoterapi!”
Harvey memeluknya dengan erat dan menenangkannya, “Sabar ya Seli. Semua akan berakhir, kamu
pasti akan sembuh.”
Apa bedanya dia bisa sembuh atau tidak dalam kehidupan seperti ini?
Dia hanya akan melalut hari seperti mayat berjalan.
Lewis hanya bisa menonton drama ini. Yang satu ingin sekali mati dan yang lain ingin sekali menyembuhkan. Keduanya berusaha sekuat tenaga berjalan ke arah yang berlawanan dan akhirnya
hanya merugikan satu sama lain.
Sayang, sebagai orang luar dia tidak punya cara terbaik menyelesaikan perkara ini. Dia hanya bisa
menonton semua ini terjadi.
“Tuan Harvey, sudah selesai. Tolong stabilkan emosi Selena, dia nggak boleh terus tersulut amarah. Oh
ya, sebentar lagi kami akan menyuntikkan obat pelindung hati yang dapat menyebabkan pasien merasa
mual dan pusing. Dia nggak boleh sembarangan bergerak.”
Nasi sudah menjadi bubur. Hanya ini yang bisa Lewis lakukan untuk Selena. Lewis pun pergi setelah
mengingatkan.
Di kamar, hanya tersisa Harvey yang memeluk Selena dengan erat.
Pandangannya Selena jatuh ke wajah Shearly, anak itu hampir sama persis seperti Agatha.
Oh. Jadi ini sepasang anak sempurna? Kakaknya mirip Harvey sedangkan adiknya mirip Agatha.
Selena memaksakan diri dan berjuang keras untuk berdiri, lalu menampar Harvey kuat–kuat. “Dasar bajingan! Pergi dari hadapanku!”
Dikekang seperti ini membuat Selena merasa kesal dan berkata, “Kenapa?”
*Selama kamu masih hidup, aku rela melakukan apapun. Sell, kumohon jangan menyerah, ya?”